Jumat, 06 Januari 2012

NYAMUK PENYELAMAT

Pak Dirjo adalah seorang petani. Ia tinggal di sebuah rumah di lereng gunung. Ia tinggal seorang diri. Istrinya sudah lama meninggal dan ia tidak memiliki seorang anak. Tinggal sendirian membuat ia merasa kesepian. Karena itulah ia sering menggerutu dan selalu mengeluh.
Musim hujan membuat Pak Dirjo semakin sering menggerutu. Rumah tuanya sudah bocor di sana-sini. Sementara untuk memperbaikinya, ia tidak punya uang. Lagipula menurutnya percuma saja diperbaiki. Umurnya paling sudah tidak lama lagi. Siapa yang akan menempati rumahnya nanti bila ia mati. Demikian menurutnya. Selain itu hujan membuat rumahnya sering kebanjiran. Belum lagi banyak nyamuk. Pak Dirjo benar-benar merasa kesal.
Suatu malam, Pak Dirjo kembali menggerutu. Ia tidak bisa tidur karena banyak nyamuk di rumahnya. Ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran nyamuk-nyamuk itu.
" Huh, mengapa Tuhan menciptakan binatang yang bisanya cuma mengganggu ini? Huh, bisa habis darahku dihisapnya. Dasar binatang pangganggu, " gerutu Pak Dirjo.
Pak Dirjo lalu mengeluarkan sepeda tuanya dan pergi ke warung untuk membeli obat pembasmi nyamuk. Letak warung itu agak jauh dari rumahnya. Makanya ia pergi dengan naik sepeda. Sepanjang perjalanan ia terus menggerutu.
Ketika Pak Dirjo kembali ke rumahnya, ia heran karena banyak tetangganya yang berkumpul di depan rumahnya sambil memanggil-manggil namanya.
" Ada apa ini?" tanya Pak Dirjo heran. Tetangganya menoleh dan serempak mereka mengucapkan syukur saat melihat kehadiran Pak Dirjo.
" Syukurlah, Pak. Bapak tidak apa-apa. Kami sangat cemas saat mendengar tebing dibelakang rumah Bapak longsor. Kami takut Bapak kenapa-napa," jawab Pak Ahmad, tetangga Pak Dirjo.
" Ha, longsor?" Pak Dirjo baru sadar jika sebagian rumahnya roboh terkena longsoran tebing. Ia lemas seketika karena rumahnya kini hancur. Namun ia merasa sangat bersyukur karena selamat dari bahaya.
" Untung aku tadi ke warung membeli obat pembasmi nyamuk. Kalau tidak, pasti aku sudah celaka, " gumamnya.
Tiba-tiba Pak Dirjo sadar, kalau kepergiannya ke warung tadi telah menyelamatkan dirinya dari malapetaka. Dengan kata lain, ia telah diselamatkan oleh nyamuk yang telah mengganggunya. Jika tadi ia tidak terganggu oleh gigitan nyanuk, pasti ia sudah tidur dan bisa jadi ia menjadi korban longsoran tebing yang menghancurkan rumahnya.
 " Oh, Tuhan. Ampunilah kesalahanku. Aku sudah menghina ciptaanMu. Bagaimanapun juga segala makhluk yang Kau ciptakan pasti memiliki manfaat. Dan nyamuk yang selama ini aku anggap sebagai binatang pengganggu dan tak bermanfaat justru telah menyelamatkan aku dari bahaya. Ampuni aku, Ya Tuhan," kata Pak Dirjo dalam hati.
" Pak, sebaiknya mulai sekarang Bapak tinggal di rumahku saja. Bapak kan tidak punya saudara. Lagipula aku juga tinggal sendiri," kata Ujang menawarkan bantuan. Pak Dirjo tersenyum.
" Terima kasih, Jang. Tapi apa aku tidak merepotkanmu?" Tanya Pak Dirjo ragu.
" Tidak, Pak. Aku malah senang kalau Bapak mau tinggal bersamaku. Aku kan sudah tidak punya orang tua. Jadi Bapak bisa sebagai pengganti ayahku. Bagaimana, Pak?" tawar Ujang.
" Baiklah, Jang. Aku akan tinggal bersamamu," kata Pak Dirjo kemudian.
Sejak saat itu, Pak Dirjo tinggal bersama Ujang. Dan ia kini tidak pernah lagi mengeluh apalagi menggerutu karena ia kini tidak kesepian lagi. Mereka pun hidup dengan tenteram dan bahagia. 

Kamis, 05 Januari 2012

KISAH DUA JANDA

Pada zaman dahulu, hiduplah dua orang janda. Janda yang pertama, hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian, ia sangat suka berderma dan membentu orang yang sedang kesusahan. Karena sifatnya itulah, banyak orang yang suka dan hormat padanya.

Sedangkan janda yang kedua, adalah seorang janda yang kaya raya. Sayangnya, ia memiliki sifat kikir dan pendengki. Itulah mengapa banyak orang yang tidak menyukainya.

Suatu hari, datanglah seorang pengemis tua ke rumah janda miskin. Ia meminta sedekah pada janda miskin itu. Si janda merasa kasihan dan mempersilahkan pengemis tua itu masuk.

” Maafkan saya, Nek. Saya tidak mempunyai uang sepeserpun. Tapi jika Nenek mau, saya memiliki sedikit makanan untuk Nenek, ” kata janda itu.

” Tidak apa-apa, Nak. Aku juga mau kalau kau memberiku makanan. Sudah dua hari ini aku belum makan, ” demikian kata pengemis tua itu.

Janda miskin itu lalu memberikan dua potong roti pada pengemis itu dan memberinya semangkuk madu untuk dioleskan pada roti itu. Padahal hanya itu yang ia miliki. Ia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk ia makan.

” Ah, biarlah. Aku masih kuat jika tidak makan hari ini. Aku akan mencari buah-buahan di hutan untuk ku makan besok. Yang penting Nenek itu tidak kelaparan, ” demikian kata si janda dalam hati.

Pengemis tua itu makan dengan lahap. Setelah selesai makan, ia pun berpamitan pada janda miskin itu.

” Oh ya, Nak. terima kasih atas kebaikan hatimu. Sebagai ucapan terima kasih, aku akan melipatgandakan sesuatu yang pertama kali kau sentuh setelah aku pergi, ” kata pengemis itu. Setelah itu, pengemis tua itu pun meninggalkan rumah janda miskin itu.

Sepeninggal pengemis itu, janda miskin itu lalu masuk ke dalam rumah. Ia tidak memikirkan kata-kata pengemis itu. Ia tulus menolong pengemis itu tanpa mengharapkan imbalan apapun. Ketika di dalam rumah, ia melihat bekas makanan pengemis itu. Ternyata masih ada sisa madu di dalam mangkuk. Janda itu lalu mengambil mangkuk madu itu dan menuangkan sisa madu itu ke dalam botol tempat ia biasa menyimpan madu. Setelah itu, ia pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan untuk dimakan.

Keesokan harinya, ia mengambil botol madu itu dan menuangkan isinya ke dalam cangkir untuk diminum. Ajaib, madu yang kemarin tinggal sedikit itu kini dapat memenuhi cangkir. Janda itu heran. Ia lalu mencoba menuangkan madu itu ke dalam toples besar. Dan ternyata, toples itupun dapat penuh terisi madu. Janda itu lalu teringat ucapan pengemis tua itu kemarin. Ia merasa bersyukur karena berkat mukjizat dari pengemis itu, ia kini dapat menjual madunya.

Sejak saat itu, janda miskin itu berjualan madu. Karena madu yang ia jual berkualitas tinggi, banyak orang yang membelinya bahkan dengan harga yang mahal. Akhirnya, Si janda dapat hidup berkecukupan dan mejadi kaya. Namun, ia tetap suka menolong dan dermawan.

Cerita janda miskin yang menjadi kaya itu akhirnya terdengar oleh Si janda kaya. Ia merasa iri dengan keberuntungan si janda miskin. Hingga ia membuat rencana supaya ia dapat memperoleh mukjizat itu juga. Ia lalu memerintahkan pelayannya untuk mencari pengemis tua itu dan membawanya ke rumahnya.

Ketika pelayannya datang dengan membawa pengemis tua itu, Si janda merasa sangat senang. Ia menjamu pengemis tua itu dengan aneka makanan lezat. Stelah merasa kenyang, pengemis tua itu pun berpamitan. Seperti sebelumnya, ia juga mengatakan hal yang sama pada Si janda kaya. Janda kaya itu merasa sangat senang dan menghadiahi pengemis itu dengan beberapa keping uang.

Stelah pengemis tua itu perga, si janda cepat-cepat masuk ke dalam rumahnya. Ia ingin segera memegang perhiasannya yang disimpan dalam kamar supaya menjadi berlipat ganda. Malangnya, pada satt melewati meje makan, tanpa sengaja tangannya menyenggol teko berisi air. Keajaiban pun terjadi. Air yang tumpah dari dalam teko terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Akhirnya, air itu membanjiri rumah Si janda kaya dan menenggelamkan janda itu beserta seluruh hartanya. Janda itu pun mati akibat keserakahannya.

CERMIN SANG RATU

Dahulu kala di Negeri Antah Berantah, tinggallah seorang ratu yang cantik jelita. Sang ratu memiliki kebiasaan aneh, yaitu mengkoleksi aneka macam cermin dengan berbagai macam ukuran. Cermin-cermin itu digantungkan di dinding kamar Sang ratu sehingga dinding kamarnya penuh dengan cermin. Sang ratu sangat suka mematut diri di depan cermin-cermin itu dan mengagumi kecantikan dirinya. Hampir sepanjang hari ia melakukannya dan tak bosan-bosannya ia berlenggak-lenggok di depan cermin-cerminnya.

Pada suatu hari, saat ratu sedang menyisir rambutnya, tiba-tiba cermin yang dipegangnya terjatuh dan pecah. Sang ratu marah besar. Ia memerintahkan pengawalnya untuk membelikannya cermin baru.

” Maaf, Yang Mulia. Tapi bukankah Paduka sudah memiliki banyak sekali cermin. Untuk apa Paduka membeli cermin lagi?” Tanya pengawalnya.

” Kurang ajar. Berani sekali kau menentang perintahku. Cepat pergi dan bawakan aku sebuah cermin untuk mengganti cerminku yang pecah. Atau kau ingin aku hukum, haa?”

Pengawal itu pun bergegas pergi ke toko cermin. Namun sayangnya, kata si pemilik toko tak ada lagi cermin yang dapat dijualnya.

” Semua cerminku sudah habis dibeli oleh ratu. Jadi tak ada lagi yang dapat ku berikan padamu, ” kata pemilik toko.

Dengan gelisah si pengawal berjalan menyusuri pasar untuk mencari cermin yang diminta oleh Sang ratu. Namun setiap toko yang didatanginya selalu memberikan jawaban yang sama. Dengan putus asa, pengawal itu kembali ke istana. Namun di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang pemuda yang tertidur di bawah pohon. Di samping pemuda itu tersendar sebuah cermin besar yang ditutup dengan selembar kain. Pengawal itu lalu menghampiri pemuda tersebut dan memintanya untuk menjual cermin itu padanya. Pemuda itu ragu.

” Apa Tuan tahu, cermin ini bukan cermin biasa. Aku khawatir jika nantinya justru akan mencelakakan diri Tuan sendiri, ” kata pemuda itu.

” Tapi jika aku kembali tanpa membawa cermin, Yang Mulia Ratu pasti akan menghukumku. Jadi tolonglah aku, ” pinta pengawal ketakutan.

Pemuda itu diam sejenak.

” Baiklah, Tuan. Aku akan menolong anda. Aku akan menghadap Ratu dan akan menyerahkan cermin ini pada Yang Mulia Ratu, ” kata pemuda itu.

Akhirnya, mereka berdua menghadap Sang ratu. Ratu senang karena keinginannya untuk memperoleh cermin baru terwujud. Ia tak sabar untuk segera mematut diri di depan cermin barunya itu.

” Maafkan hamba, Yang Mulia. Sebelum Yang Mulia membelinya, hamba hanya ingin mengingatkan jika cermin ini bukanlah cermin biasa. Cermin ini akan menunjukkan wajah asli dari orang yang bercermin padanya. Jadi hambamohon sebaiknya Yang Mulia mempertimbangkan lagi keinginan Paduka itu, ” kata si pemuda.

” Lancang! Berani sekali kau berkata seperti itu. Apa kau mau aku hukum, haa? ” Kata ratu murka. Pemuda itu ketakutan.

” Maaf, Yang mulia. Hamba hanya ingin mengingatkan Paduka. Tapi jika memang Paduka menginginkan cermin ini, dengan senang hati hamba akan mempersembahkannya untuk Paduka, ” kata si pemuda sambil menyerahkan cermin itu.

Ratu segera menerimanya dengan senang. Ia segera bercermin. Namun ketika melihat bayangannya di cermin, Sang ratu menjerit kaget. Ia lalu menatap si pemuda dengan murka.

” Hai, anak muda. Apa maksud ini semua? Mengapa wajah cantikku berubah menjadi penuh dengan ulat di dalam cermin ini? Apa kau mau menghinaku, haa?” kata ratu marah.

Si pemuda menyembah dan menjawab dengan ketakutan.

” Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak pernah sekalipun mencoba menipu apalagi menghina Paduka. Bukankah hamba sudah menjelaskan bahwa cermin itu akan menunjukkan wajah asli seseorang yang bercermin padanya, “

” Jadi maksudmu itu adalah wajahku yang sebenarnya ?” Tanya ratu lagi.

” Maaf, Yang Mulia. Menurut hamba, itu mungkin adalah peringatan bagi Paduka, bahwa Paduka jangan hanya menyibukkan diri dengan memandangi wajah cantik Paduka lewat cermin. Tanpa bercermin pun, wajah Paduka sudah sangat cantik. Sebaiknya Paduka lebih mementingkan nasib rakyat Paduka. Karena masih banyak rakyat yang memmbutuhkan perhatian dari Paduka. Maaf, Paduka. Bukan maksud hamba untuk menggurui Paduka. Namun hamba hanya mencoba mengartikan maksud dari cermin tersebut. Jadi mohon Paduka mengampuni hamba,” kata pemuda itu sambil menyembah.

Ratu tertegun mendengar ucapan pamuda itu. Ia sadar bahwa selama ini ia memang terlalu sibuk bercermin hingga urusan rakyat terabaikan.

” Terima kasih, anak muda. Kamu benar. Selama ini aku memang terlalu sibuk bercermin. Mulai sekarang, aku berjanji akan lebih mementingkan rakyatku. Dan satu hal lagi. Bolehkah aku membeli cerminmu ?”

Pemuda itu terkejut.

” Untuk apa, Yang Mulia?” Tanyanya heran.

” Sebagai peringatan supaya aku tidak melalaikan tugasku dalam menyejahterakan rakyatku. Bukankah memang itu tugas seorang pemimpin?” Jawab ratu.

” Jika memang demikian, dengan senang hati hamba akan mempersembahkan cermin ini untuk Paduka,” kata si pemuda.

Sejak saat itu, ratu tak lagi sibuk dengan cerminnya. Bahkan, kini kamarnya tak lagi dipenuhi oleh ribuan cermin. Hanya ada satu cermin yang ada di dinding kamarnya, yaitu cermin ajaib pemberian si pemuda. Bahkan seluruh cerminnya ia bagikan pada rakyat yang membutuhkannya. Dan negeri itu pun semakin makmur dan tenteram berkat cermin ajaib yang selalu mengingatkan Sang ratu apabila ia lalai dalam tugasnya.